Kamis, 06 Agustus 2015

Suku Mandobo

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang

Di antara sungai digul dan sungai Kao, dikaki pegunungan yang tinggi, berdiam suatu kelompok penduduk yang sejak dahulu kala menyebut dirinya “Mandup-wambon”. Mandup untuk mereka yang tinggal di tepi kiri sungai Kao, Wambon untuk mereka yangh menghuni tepi kanan sungai itu. Orang asing mengubah nama ini menjadi “Mandobo” dan bahkan sungai Ndumut, yang mengalir melintasi daerah ini diberi nama Mandobo.Daerah itu sekarang terletak diantara sungai digul dan sungai kao, dan oleh karenanya dikatakan, suku mandobo berdiam diantara suku-sukui awyu dan muyu. Orang awyu terdapat di sebelah barat sungai digul, orang muyu berdiam disebelah timur sungai kao. Para peneliti menetapkan, bahwa bahasa orang mandobo memperlihatkan kekerabatan yang kuat dengan bahasa orang awyu, tetapi bahwa strukutur social orang mandobo memperlihatkan lebih banyak kekerabatan dengan struktur social penduduk daerah muyu.
Kebudayaan mandobo ini dapat dipandang sebagai suatu bentuk peralihan diantara kebudayaan-kebudayaan kau peramu dan kaum petani. Menurut unsur-unsur awyu kebudayaan itu lebih dekat pada kaum peramu dan menurut unsur-unsur muyu lebih dekat dengan kaum petani. Sejauh kita mempertimbangkan kekerabatannya dengan orang awyu maka oprang mandobo sebagai pemakan sagu memperlihatkan sifat hidup dan suka main-main dar orang awyu. Kalau mereka itu kaya maka kekayaan mereka itu ada untuk dinikmati bersama dengan orang lain. Tapi sejauh kekerabatan dengan suku muyu lebih berat, tampaknya orang mandobo merupakan pedagang-pedagang yang ulung, yang memelihara babi yang dijual untuk memperoleh uang siput, dengan uang siput memperoleh wanita untuk kemudian melalui wanita-wanita itu memelihara babi lagi. Didalam susunan itulah terutama kalau tidak ada sagu, kebun-kebun memperoleh arti yang besar.

B.     Rumusan Masalah
1.      Seperti apa pengantar kebudayaan suku mandobo?
2.      Bagaimana sejarah kebudayaan suku mandobo ?
3.      Bagaimana bahasa dari suku mandobo ?
4.      Bagaimana sistim mata pencaharian suku mandobo ?
5.      Bagaimana sistim kepercayaan suku mandobo ?



C.    Tujuan
1.      Untuk menhetahui pengantar kebudayaan suku mandobo !
2.      Untuk mengetahui sejarah suku mandobo !
3.      Untuk mengetahui bahasa dari suku mandobo !
4.      Untuk mengetahui mata pencaharian suku mandobo !
5.      Untuk mengetahui sistim kepercayaan suku mandobo !


BAB II
PEMBAHASAN

A.    PENGANTAR SUKU MANDOBO

Di antara sungai digul dan sungai Kao, dikaki pegunungan yang tinggi, berdiam suatu kelompok penduduk yang sejak dahulu kala menyebut dirinya “Mandup-wambon”. Mandup untuk mereka yang tinggal di tepi kiri sungai Kao, Wambon untuk mereka yang menghuni tepi kanan sungai itu. Orang asing mengubah nama ini menjadi “Mandobo” dan bahkan sungai Ndumut, yang mengalir melintasi daerah ini diberi nama Mandobo.Daerah itu sekarang terletak diantara sungai digul dan sungai kao, dan oleh karenanya dikatakan, suku mandobo berdiam diantara suku-sukui awyu dan muyu. Orang awyu terdapat di sebelah barat sungai digul, orang muyu berdiam disebelah timur sungai kao. Para peneliti menetapkan, bahwa bahasa orang mandobo memperlihatkan kekerabatan yang kuat dengan bahasa orang awyu, tetapi bahwa strukutur social orang mandobo memperlihatkan lebih banyak kekerabatan dengan struktur social penduduk daerah muyu.

B.     SEJARAH SUKU MANDOBO

Sejarah suku Mandobo mendiami beberapa perkampungan disekitar sungai mandobo, yaitu antara hulu sungai digul dan sungai kao yang bermuara ke pantai selatan papua barat. Antara lain dikecamatan waropko dan kecamatan mindiptanah., kabupaten merauke. Sebutan untyk mereka sebenarnya adalah Wandub Wambon. Kelompok yang tinggal di sebelah kiri sungai kao menyebut dirinya Wandub, sedangkan yang tinggal disebelah kanan sungai Kao menyebut dirinya  Wambon. Orang luarlah yang memberi mereka nama mandobo, sesuai dengan nama sungai mandobo yang melintasi daerah itu.

C.    BAHASA SUKU MANDOBO

Berdasarkan pengklasifikasian bangsa muyu tergolong dalam rumpun bahasa papua atau non Austronesia dapat dilihat dalam cirri-ciri bahasa. Suku muyu atau kati mempunyai bahasa sendiri yaitu bahasa kati atau muyu. Dalam bahasa kati atau muyu sendiri di klasifikasi ke dalam 8 sub bahasa sesuai dengan 8 sub suku yang ada di wilayah suku bangsa muyu atau kati antara lain dimulai dari selatan ke utara yaitui dialek kamindip, Okpari, Kakaib, Kawiptet, Are, Kasaut, Jonggom, dan dialek Ninggrum. Ke 8 sub suku kati tela disebutkan diatas masing-masing mempunyai dialeknya sendiri-sendiri, tetapi dalam kosa kata terdapat hampir semua persamaan-persamaan walaupun ada sedikit perbedaan dalam kosa kata.


D.    MATA PENCAHARIAN SUKU MANDOBO

Daerah kediaman mereka tertutup hutan rimba. Hampir tidak ada perbedaan antara musim hujan dan musim kering. Maka hutannya selalu kelihatan kelabu, basah, dan gelap. Hutan itu membentang ke segala penjuru sampai jauh tak berbatas. Suasana khusus hutan itu ikut ditentukan juga oleh kenyataan bahwa orang mengira hutan itu dihuni oleh hantu-hantu dan roh-roh, sedangkan setiap orang di dalam hutan itu mengenal rasa takut terhadap pembunuh-pembunuh tersembunyi, yang setiap saat dengan sembunyi-sembunyi dapat melakukan pekerjaan mereka itu.
Tugas suami adalah berburu dan perdagangan. Untuk berburu dia memelihara anjing-anjing yang setia. Dia berburu dengan panah dan kapak, memasang jerat dan membuat lubang perangkap; dia berburu babi hutan, burung kasuari, beruang panjat, burung-burung, tikus, ular, dan sebagainya. Di tempat terdapat cukup sagu, orang menamakan pohon ini sebagai sumber pokok makanan sehari-hari, dan makanan mereka sehari-hari: sagu dan pisang. Mereka menanam sagu; mereka membiakkan ulat-ulat sagu; sagu yang dimakan itu dibembam atau dipanggang. Orang saling berbagi makanan itu seorang dengan yang lain. Di samping itu pisangjuga penting. Di tempat-tempat yang kurang ditumbuhi sagu orang membuka kebun dan konon terdapat 32 jenispisang, lOjeniskeladi, 15jenis kumbili, tebu, dan kentang.

Para anggota keluarga itu sangat erat saling bergantungan seorang pada yang lain; segala sesuatu dirundingkan bersama dahulu, sebelum dilaksanakan. N a m u n demikian kelompok itu tidak seluruhnya tertutup pada dirinya sendiri, sebab selalu ada saja anggota-anggota yang bepergian dan selalu juga ada tamu-tamu yang datang berkunjung. Pemeliharaan dan pembinaan hubungan-hubungan itu senantiasa dipandang sebagai hal yang teramat penting. Kalau ada seorang suami bepergian bersama salah seorang istrinya maka dia selalu bisa menitipkan anak-anak dan istrinya di bawah perlindungan saudara-saudaranya. Ayah dan putra-putranya tinggal bersamasama, sebab pemilikan tanah keturunan mereka begitu berharga sehubungan dengan usaha berladang dan beternak babi.

Nilai tukar benda-benda yang bergerak dan tidak bergerak di dalam masyarakat Mandobo dinyatakan dalam "uang siput". Semua milik yang penting: tanah, wanita, babi, anjing, panah dan busur, jala gendongan, dan sebagainya, dijual dan dibeli dengan uang siput. Tetapi "jenis uang" ini bukan satu-satunya. Orang berdagang juga dengan bantuan benda-benda seperti kapak dan perhiasan. Tetapi yang menarik adalah, bahwa pada satu pihak harga meningkat, apabila si penjual mempunyai banyak anggota keluarga yang ingin mendapat bagian juga dari pendapatan itu. Juga merupakan hal yang khas sekali untuk perdagangan ini, bahwa sebuah kulit kerang (siput) yang berada di tangan seorang miskin atau seseorang bujang lebih berharga daripada kalau kulit kerang itu berada di tangan seseorang rekan yang dengan dia orang berharap akan bisa melakukan lebih banyak hal lagi atau kalau berdagang dengan dia bisa menghasilkan keuntungan yang besar.





E.     SISTEM KEPERCAYAAN SUKU MANDOBO

Di sinilah, kepercayaan kepada babi yang sakral memberikan pengaruh sendiri yang sangat khusus. Di dalam suatu pandangan hidup kosmologis sekelompok orang yang ditahbiskan akan percaya, merayakan, dan melaksanakan pandangan hidup seorang pendiri. Peraturan-peraturan mendapat muatan yang bisa m e m b a w a orang kepada keselamatan atau kehancuran dari kenyataan bahwa peraturan-peraturan tersebut diberikan oleh si pendiri, yang sendiri sudah menghayatinya. Jadi bukan muatan magis benda-benda itu sendiri, yang menentukan pemakaian; melainkan karena "sudah diatur" itulah, bahwa kekuatan benda-benda itu bisa membawa orang kepada keselamatan atau kehancuran. Ketaatan bukan lagi menyesuaikan diri dengan apa harus dipatuhi di hadapan hakikat benda-benda; ketaatan di sini tunduk kepada kemauan seseorang, yang memilih sendiri benda-benda dan menyusun suatu tata tertib tertentu.
Orang menerima tata tertib itu dengan ikut makan dari "si pendiri", yang datang hadir di dalam babi keramat. Inti mitos si pendiri ini tedetak di dalam penekanan kenyataan, bahwa K o w a m u p secara kreatif memanfaatkan keadaan-keadaan hidup yang didesakkan terhadap dia. Orang memanterai makanannya; dia mengancam akan mengubah diri menjadi seekor babi dan menerima kejadian ini begitu konsekuen, sehingga dari ketaatannya kepada nasibnya dia memperoleh kekuatan aktif yang dapat memberikan suatu tata kehidupan lebih tinggi. Para pengikutnya bisa mendapat bagian dari kehidupan ini, asal mereka membiarkan diri ditahbiskan. Sangat jelas terlihat di sini bahwa kebudayaan konsumptif kaum peramu diubah menjadi kebudayaan kaum peladang yang produktif. Kedua jenis kebudayaan itu mengenal penyesuaian diri kepada kenyataan kemungkinan hidup sehari-hari yang riil, tetapi penerimaan nasib kaum peramu dengan segala kekuatan improvisasirtya, akhir-akhirnya bersifat pasif.
Dia tetap "bergantung" pada kemungkinan-kemungkinan yang "diberikan", sedangkan penerimaan nasib kaum peladang timbul dari kepercayaan, bahwa dia dapat menciptakan kemungkinan-kemungkinan baru, asalkan dia aktif dan kreatif memanfaatkan kemungkinan-kemungkinan itu dan membangunnya menjadi suatu susunan yang baru. N a m a babi keramat pertama, Kowamup, berarti "yang di tengah-tengah", yaitu nama untuk seorang anak pria yang berada di antara anak sulung dan anak bungsu. Kata orang, anak pria "yang di tengah tengah" itu sebenarnya harus dibunuh (kadang-kadang orang mengatakan "sudah dibunuh"), tetapi mendapat gantinya dalam diri babi keramat itu. Akan tetapi anak pria yang di tengah-tengah itu berarti manusia sebagai manusia, yang terdapat di antara generasi yang terdahulu dan generasi berikutnya; manusia, yang berada di antara pihak pemberi mempelai dan pihak penerima mempelai dan yang di dalam rumahnya (rumah kediaman dengan tiga kamar itu) merupakan pemisah di antara kediaman kedua orang istrinya.
Di dalam situasi purba ini manusialah, yang secara produktif dan kreatif memanfaatkan segala kemungkinan hidup. Dia terjebak di dalam
"perangkap kehidupan", perangkap kebutuhan-kebutuhan ekonomi, dan perangkap kebutuhan pembiakan, perangkap uang siput, yang berbentuk vagina dan di dalam itulah dia harus membuat kehidupan, sedapat-dapatnya sekalipun dia harus mati untuk itu dan membiarkan dirinya dimakan. Di sinilah juga terkandung pikiran-asal akan mutlak perlunya pengorbanan diri (secara kreatif), sebagaimana sudah kita lihat di kalangan kaum peramu, sebagai tuntutan terakhir kehidupan konsumptif.

DAFTAR PUSTAKA


Boelaars Jan. 1986. Manusia Irian. PT.Gramedia: Jakarta

diakses tanggal 4 juni 2015 pukul 20:00 WIT


diakses tanggal 4 juni 2015 pukul 20:05 WIT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar