BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di antara sungai digul
dan sungai Kao, dikaki pegunungan yang tinggi, berdiam suatu kelompok penduduk
yang sejak dahulu kala menyebut dirinya “Mandup-wambon”. Mandup untuk mereka
yang tinggal di tepi kiri sungai Kao, Wambon untuk mereka yangh menghuni tepi
kanan sungai itu. Orang asing mengubah nama ini menjadi “Mandobo” dan bahkan sungai Ndumut,
yang mengalir melintasi daerah ini diberi nama Mandobo.Daerah itu sekarang
terletak diantara sungai digul dan sungai kao, dan oleh karenanya dikatakan,
suku mandobo berdiam diantara suku-sukui awyu dan muyu. Orang awyu terdapat di
sebelah barat sungai digul, orang muyu berdiam disebelah timur sungai kao. Para
peneliti menetapkan, bahwa bahasa orang mandobo memperlihatkan kekerabatan yang
kuat dengan bahasa orang awyu, tetapi bahwa strukutur social orang mandobo
memperlihatkan lebih banyak kekerabatan dengan struktur social penduduk daerah
muyu.
Kebudayaan mandobo ini
dapat dipandang sebagai suatu bentuk peralihan diantara kebudayaan-kebudayaan
kau peramu dan kaum petani. Menurut unsur-unsur awyu kebudayaan itu lebih dekat
pada kaum peramu dan menurut unsur-unsur muyu lebih dekat dengan kaum petani.
Sejauh kita mempertimbangkan kekerabatannya dengan orang awyu maka oprang
mandobo sebagai pemakan sagu memperlihatkan sifat hidup dan suka main-main dar
orang awyu. Kalau mereka itu kaya maka kekayaan mereka itu ada untuk dinikmati
bersama dengan orang lain. Tapi sejauh kekerabatan dengan suku muyu lebih
berat, tampaknya orang mandobo merupakan pedagang-pedagang yang ulung, yang
memelihara babi yang dijual untuk memperoleh uang siput, dengan uang siput
memperoleh wanita untuk kemudian melalui wanita-wanita itu memelihara babi
lagi. Didalam susunan itulah terutama kalau tidak ada sagu, kebun-kebun
memperoleh arti yang besar.
B. Rumusan Masalah
1. Seperti
apa pengantar kebudayaan suku mandobo?
2. Bagaimana
sejarah kebudayaan suku mandobo ?
3. Bagaimana
bahasa dari suku mandobo ?
4. Bagaimana
sistim mata pencaharian suku mandobo ?
5. Bagaimana
sistim kepercayaan suku mandobo ?
C.
Tujuan
1. Untuk
menhetahui pengantar kebudayaan suku mandobo !
2. Untuk
mengetahui sejarah suku mandobo !
3. Untuk
mengetahui bahasa dari suku mandobo !
4. Untuk
mengetahui mata pencaharian suku mandobo !
5. Untuk
mengetahui sistim kepercayaan suku mandobo !
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGANTAR SUKU MANDOBO
Di
antara sungai digul dan sungai Kao, dikaki pegunungan yang tinggi, berdiam
suatu kelompok penduduk yang sejak dahulu kala menyebut dirinya
“Mandup-wambon”. Mandup untuk mereka yang tinggal di tepi kiri sungai Kao,
Wambon untuk mereka yang menghuni tepi kanan sungai itu. Orang asing mengubah
nama ini menjadi “Mandobo” dan bahkan
sungai Ndumut, yang mengalir
melintasi daerah ini diberi nama Mandobo.Daerah itu sekarang terletak diantara
sungai digul dan sungai kao, dan oleh karenanya dikatakan, suku mandobo berdiam
diantara suku-sukui awyu dan muyu. Orang awyu terdapat di sebelah barat sungai
digul, orang muyu berdiam disebelah timur sungai kao. Para peneliti menetapkan,
bahwa bahasa orang mandobo memperlihatkan kekerabatan yang kuat dengan bahasa
orang awyu, tetapi bahwa strukutur social orang mandobo memperlihatkan lebih
banyak kekerabatan dengan struktur social penduduk daerah muyu.
B.
SEJARAH SUKU MANDOBO
Sejarah
suku Mandobo mendiami beberapa perkampungan disekitar sungai mandobo, yaitu
antara hulu sungai digul dan sungai kao yang bermuara ke pantai selatan papua
barat. Antara lain dikecamatan waropko dan kecamatan mindiptanah., kabupaten
merauke. Sebutan untyk mereka sebenarnya adalah Wandub Wambon. Kelompok
yang tinggal di sebelah kiri sungai kao menyebut dirinya Wandub, sedangkan yang tinggal disebelah kanan sungai Kao menyebut
dirinya Wambon. Orang luarlah yang memberi mereka
nama mandobo, sesuai dengan nama sungai mandobo yang melintasi daerah itu.
C.
BAHASA SUKU MANDOBO
Berdasarkan
pengklasifikasian bangsa muyu tergolong dalam rumpun bahasa papua atau non
Austronesia dapat dilihat dalam cirri-ciri bahasa. Suku muyu atau kati
mempunyai bahasa sendiri yaitu bahasa kati atau muyu. Dalam bahasa kati atau
muyu sendiri di klasifikasi ke dalam 8 sub bahasa sesuai dengan 8 sub suku yang
ada di wilayah suku bangsa muyu atau kati antara lain dimulai dari selatan ke
utara yaitui dialek kamindip, Okpari, Kakaib, Kawiptet, Are, Kasaut, Jonggom,
dan dialek Ninggrum. Ke 8 sub suku kati tela disebutkan diatas masing-masing
mempunyai dialeknya sendiri-sendiri, tetapi dalam kosa kata terdapat hampir
semua persamaan-persamaan walaupun ada sedikit perbedaan dalam kosa kata.
D.
MATA PENCAHARIAN SUKU MANDOBO
Daerah kediaman mereka tertutup hutan rimba. Hampir
tidak ada perbedaan antara musim hujan dan musim kering. Maka hutannya selalu
kelihatan kelabu, basah, dan gelap. Hutan itu membentang ke segala penjuru
sampai jauh tak berbatas. Suasana khusus hutan itu ikut ditentukan juga oleh
kenyataan bahwa orang mengira hutan itu dihuni oleh hantu-hantu dan roh-roh,
sedangkan setiap orang di dalam hutan itu mengenal rasa takut terhadap
pembunuh-pembunuh tersembunyi, yang setiap saat dengan sembunyi-sembunyi dapat
melakukan pekerjaan mereka itu.
Tugas
suami adalah berburu dan perdagangan. Untuk berburu dia memelihara
anjing-anjing yang setia. Dia berburu dengan panah dan kapak, memasang jerat
dan membuat lubang perangkap; dia berburu babi hutan, burung kasuari, beruang
panjat, burung-burung, tikus, ular, dan sebagainya. Di tempat terdapat cukup
sagu, orang menamakan pohon ini sebagai sumber pokok makanan sehari-hari, dan
makanan mereka sehari-hari: sagu dan pisang. Mereka menanam sagu; mereka
membiakkan ulat-ulat sagu; sagu yang dimakan itu dibembam atau dipanggang.
Orang saling berbagi makanan itu seorang dengan yang lain. Di samping itu
pisangjuga penting. Di tempat-tempat yang kurang ditumbuhi sagu orang membuka
kebun dan konon terdapat 32 jenispisang, lOjeniskeladi, 15jenis kumbili, tebu,
dan kentang.
Para
anggota keluarga itu sangat erat saling bergantungan seorang pada yang lain;
segala sesuatu dirundingkan bersama dahulu, sebelum dilaksanakan. N a m u n
demikian kelompok itu tidak seluruhnya tertutup pada dirinya sendiri, sebab
selalu ada saja anggota-anggota yang bepergian dan selalu juga ada tamu-tamu
yang datang berkunjung. Pemeliharaan dan pembinaan hubungan-hubungan itu
senantiasa dipandang sebagai hal yang teramat penting. Kalau ada seorang suami
bepergian bersama salah seorang istrinya maka dia selalu bisa menitipkan
anak-anak dan istrinya di bawah perlindungan saudara-saudaranya. Ayah dan
putra-putranya tinggal bersamasama, sebab pemilikan tanah keturunan mereka
begitu berharga sehubungan dengan usaha berladang dan beternak babi.
Nilai tukar benda-benda
yang bergerak dan tidak bergerak di dalam masyarakat
Mandobo dinyatakan dalam "uang siput". Semua milik yang
penting: tanah, wanita, babi, anjing, panah dan busur, jala
gendongan, dan sebagainya, dijual dan dibeli dengan uang
siput. Tetapi "jenis uang" ini bukan satu-satunya.
Orang
berdagang juga dengan bantuan benda-benda seperti kapak dan
perhiasan. Tetapi yang menarik adalah, bahwa pada satu pihak harga
meningkat, apabila si penjual mempunyai banyak anggota
keluarga yang ingin mendapat bagian juga dari pendapatan itu.
Juga merupakan hal yang khas sekali untuk perdagangan ini,
bahwa sebuah kulit kerang (siput) yang berada di tangan
seorang miskin atau seseorang bujang lebih berharga
daripada
kalau kulit kerang itu berada di tangan seseorang rekan
yang
dengan dia orang berharap akan bisa melakukan lebih
banyak
hal lagi atau kalau berdagang dengan dia bisa menghasilkan
keuntungan yang besar.
E.
SISTEM
KEPERCAYAAN SUKU MANDOBO
Di
sinilah, kepercayaan kepada babi yang sakral memberikan pengaruh sendiri yang
sangat khusus. Di dalam suatu pandangan hidup kosmologis sekelompok orang yang
ditahbiskan akan percaya, merayakan, dan melaksanakan pandangan hidup seorang
pendiri. Peraturan-peraturan mendapat muatan yang bisa m e m b a w a orang kepada
keselamatan atau kehancuran dari kenyataan bahwa peraturan-peraturan tersebut
diberikan oleh si pendiri, yang sendiri sudah menghayatinya. Jadi bukan muatan magis
benda-benda itu sendiri, yang menentukan pemakaian; melainkan karena
"sudah diatur" itulah, bahwa kekuatan benda-benda itu bisa membawa
orang kepada keselamatan atau kehancuran. Ketaatan bukan lagi menyesuaikan diri
dengan apa harus dipatuhi di hadapan hakikat benda-benda; ketaatan di sini tunduk
kepada kemauan seseorang, yang memilih sendiri benda-benda dan menyusun suatu
tata tertib tertentu.
Orang menerima
tata tertib itu dengan ikut makan dari "si pendiri", yang datang
hadir di dalam babi keramat. Inti mitos si pendiri ini tedetak di dalam penekanan
kenyataan, bahwa K o w a m u p secara kreatif memanfaatkan keadaan-keadaan
hidup yang didesakkan terhadap dia. Orang memanterai makanannya; dia mengancam
akan mengubah diri menjadi seekor babi dan menerima kejadian ini begitu
konsekuen, sehingga dari ketaatannya kepada nasibnya dia memperoleh kekuatan
aktif yang dapat memberikan suatu tata kehidupan lebih tinggi. Para pengikutnya
bisa mendapat bagian dari kehidupan ini, asal mereka membiarkan diri
ditahbiskan. Sangat jelas terlihat di sini bahwa kebudayaan konsumptif kaum
peramu diubah menjadi kebudayaan kaum peladang yang produktif. Kedua jenis
kebudayaan itu mengenal penyesuaian diri kepada kenyataan kemungkinan hidup
sehari-hari yang riil, tetapi penerimaan nasib kaum peramu dengan segala
kekuatan improvisasirtya, akhir-akhirnya bersifat pasif.
Dia
tetap "bergantung" pada kemungkinan-kemungkinan yang
"diberikan", sedangkan penerimaan nasib kaum peladang timbul dari
kepercayaan, bahwa dia dapat menciptakan kemungkinan-kemungkinan baru, asalkan
dia aktif dan kreatif memanfaatkan kemungkinan-kemungkinan itu dan membangunnya
menjadi suatu susunan yang baru. N a m a babi keramat pertama, Kowamup, berarti
"yang di tengah-tengah", yaitu nama untuk seorang anak pria yang
berada di antara anak sulung dan anak bungsu. Kata orang, anak pria "yang
di tengah tengah" itu sebenarnya harus dibunuh (kadang-kadang orang
mengatakan "sudah dibunuh"), tetapi mendapat gantinya dalam diri babi
keramat itu. Akan tetapi anak pria yang di tengah-tengah itu berarti manusia
sebagai manusia, yang terdapat di antara generasi yang terdahulu dan generasi berikutnya;
manusia, yang berada di antara pihak pemberi mempelai dan pihak penerima
mempelai dan yang di dalam rumahnya (rumah kediaman dengan tiga kamar itu)
merupakan pemisah di antara kediaman kedua orang istrinya.
Di
dalam situasi purba ini manusialah, yang secara produktif dan kreatif memanfaatkan
segala kemungkinan hidup. Dia terjebak di dalam
"perangkap kehidupan",
perangkap kebutuhan-kebutuhan ekonomi, dan perangkap kebutuhan pembiakan,
perangkap uang siput, yang berbentuk vagina dan di dalam itulah dia harus membuat
kehidupan, sedapat-dapatnya sekalipun dia harus mati untuk itu dan membiarkan
dirinya dimakan. Di sinilah juga terkandung pikiran-asal akan mutlak perlunya
pengorbanan diri (secara kreatif), sebagaimana sudah kita lihat di kalangan
kaum peramu, sebagai tuntutan terakhir kehidupan konsumptif.
DAFTAR PUSTAKA
Boelaars
Jan. 1986. Manusia Irian.
PT.Gramedia: Jakarta
diakses
tanggal 4 juni 2015 pukul 20:00 WIT
diakses
tanggal 4 juni 2015 pukul 20:05 WIT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar